KabarReal.com, Opini–Konflik bersenjata antara Iran dan Israel yang kembali memanas sejak pertengahan tahun 2025 telah menimbulkan kekhawatiran global, tidak hanya dalam aspek keamanan internasional, tetapi juga dalam dimensi hukum dan ekonomi. Serangan udara saling berbalas antara kedua negara menandai eskalasi yang serius terhadap stabilitas kawasan Timur Tengah. Dari sudut pandang hukum internasional, konflik ini menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali prinsip-prinsip dasar dalam hukum humaniter dan hukum perang yang diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta Konvensi Jenewa.
Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB secara tegas melarang penggunaan kekuatan oleh suatu negara terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain. Ketentuan ini merupakan dasar utama bagi larangan agresi atau serangan militer sepihak. Sementara itu, dalam kondisi tertentu, Pasal 51 Piagam PBB memang memberikan hak kepada negara untuk melakukan tindakan membela diri jika diserang. Namun, prinsip ini bersifat limitatif dan harus tunduk pada prinsip proporsionalitas serta urgensi. Jika dicermati, aksi militer antara Iran dan Israel cenderung melampaui batas pembelaan diri dan berpotensi menjadi bentuk agresi terbuka, yang merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Lebih lanjut, hukum humaniter internasional atau international humanitarian law (IHL) mengatur tentang perlindungan terhadap warga sipil dalam konflik bersenjata. Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahannya menegaskan bahwa serangan harus membedakan antara sasaran militer dan penduduk sipil, serta melarang serangan yang menimbulkan penderitaan tidak proporsional. Dalam konflik Iran–Israel saat ini, laporan tentang korban sipil dan serangan terhadap infrastruktur non-militer menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip IHL, khususnya prinsip distinction dan proportionality.
Dari perspektif teori hukum, Hans Kelsen dalam doktrin hukum internasional menekankan pentingnya supremasi norma internasional dalam menjaga ketertiban dunia. Ketika suatu negara bertindak di luar norma hukum internasional, maka tidak hanya mencederai prinsip keadilan, tetapi juga membuka ruang legitimasi bagi tindakan balasan yang lebih destruktif. Selain itu, teori hukum responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick relevan untuk menilai bahwa negara-negara harus menjadikan hukum sebagai instrumen penyelesaian konflik, bukan sekadar simbol legitimasi kekuasaan militer.
Dampak dari konflik ini tidak hanya dirasakan oleh negara-negara yang terlibat langsung. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, terancam secara tidak langsung oleh krisis energi, gangguan rantai pasok, inflasi, hingga potensi instabilitas politik akibat tekanan ekonomi. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip bebas aktif memiliki posisi strategis untuk mendorong penyelesaian damai dan memperkuat mekanisme multilateralisme, baik melalui ASEAN, OKI, maupun PBB.
Oleh karena itu, konflik bersenjata antara Iran dan Israel tidak dapat dibenarkan secara hukum, baik dari aspek legalitas serangan militer maupun pelanggaran terhadap prinsip kemanusiaan. Jalan kekerasan hanya akan memperpanjang penderitaan dan membuka luka baru dalam hubungan antarnegara. Keseluruhan dinamika ini menguatkan pandangan bahwa perdamaian dunia hanya bisa ditegakkan melalui supremasi hukum dan upaya diplomasi yang sungguh-sungguh.
Konklusinya,bahwa harus ditegaskan bahwa perang bukanlah solusi. Ketegangan harus dihentikan, dan mekanisme diplomatik harus segera diaktifkan. Dunia internasional, termasuk Indonesia, harus mengambil peran aktif dalam mendorong penyelesaian damai melalui dialog, mediasi, dan penghormatan terhadap hukum internasional. Dalam dunia yang saling terhubung, perdamaian bukan hanya ideal moral, tetapi keharusan rasional untuk keberlangsungan peradaban umat manusia.
Sumber Berita : Penulis: Muh Afriansyah,S.H.M.H.











