KabarReal.com, Opini–Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat terobosan penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. Putusan ini memisahkan waktu pelaksanaan Pemilu nasional (DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden) dan Pemilu daerah (DPRD dan Pilkada), dengan menetapkan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan. Putusan ini tidak hanya bersifat teknis elektoral, melainkan memiliki makna hukum konstitusional dan implikasi mendalam terhadap kualitas demokrasi Indonesia.
Secara yuridis, putusan ini membatalkan frasa dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, sepanjang tidak memaknai adanya jeda waktu antara dua pemilu tersebut. MK menilai bahwa penyelenggaraan pemilu secara serentak lima kotak suara dalam satu hari seperti pada Pemilu 2019 dan 2024, tidak ideal karena membebani penyelenggara dan membingungkan pemilih. MK juga menilai bahwa tumpang tindih antara isu nasional dan daerah menyebabkan persoalan lokal kehilangan ruang artikulasi yang memadai dalam proses demokrasi.
Apabila dibahas dalam perspektif teori hukum, khususnya teori Hans Kelsen mengenai hirarki norma hukum (Stufenbau des Rechts), putusan MK sebagai penjaga konstitusi (guardian of the constitution) menempati posisi penting dalam menjaga supremasi UUD 1945. Putusan ini juga mencerminkan pendekatan hukum progresif seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, yang memandang hukum sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan substantif dan kualitas demokrasi. Pemisahan pemilu ini dapat dimaknai sebagai upaya menyusun ulang sistem pemilu agar lebih berorientasi pada rakyat dan tidak sekadar rutinitas prosedural lima tahunan.
Secara kelembagaan, keputusan ini membawa implikasi serius bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan pemerintah. DPR perlu segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada, dengan memperhatikan masa jabatan anggota DPRD yang bisa terdampak oleh perubahan ini. Hal ini sekaligus menjadi pengingat bahwa setiap putusan konstitusional membutuhkan respons legislasi yang cepat dan bijak agar tidak menimbulkan kekosongan hukum (rechtsvacuum). Pemerintah melalui Kemendagri juga harus mengantisipasi kemungkinan perpanjangan masa jabatan kepala daerah secara konstitusional dan akuntabel.
Respon berbagai pihak pun beragam. Kelompok masyarakat sipil seperti Perludem menyambut positif putusan ini sebagai langkah perbaikan tata kelola pemilu. Akademisi dan pakar hukum tata negara menilai bahwa jeda dua tahun akan memberi waktu yang cukup untuk fokus pada isu lokal dalam pemilu daerah, tanpa terdistraksi oleh isu nasional. Sementara itu, sejumlah kalangan politik praktis menyuarakan perlunya kejelasan masa transisi agar tidak muncul kebingungan di lapangan. Konsolidasi demokrasi memang menuntut ketelitian dalam setiap fase reformasi elektoral.
Dengan mempertimbangkan aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis, pemisahan pemilu ini patut diapresiasi sebagai langkah strategis untuk membangun demokrasi yang lebih partisipatif dan substantif. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pemilu serentak dengan lima surat suara bukan hanya melelahkan bagi pemilih, tetapi juga menciptakan ruang bagi praktik transaksional yang mengorbankan esensi kedaulatan rakyat.
Pada akhirnya, kita perlu menghormati dan mendukung putusan Mahkamah Konstitusi ini sebagai wujud dari negara hukum yang menempatkan konstitusi sebagai panglima. Diharapkan pemisahan jadwal pemilu ini menjadi momentum bagi penyelenggara negara untuk memperbaiki kualitas demokrasi elektoral di Indonesia. Tentunya dengan perencanaan yang matang dan partisipasi aktif dari semua elemen bangsa, Pemilu di Indonesia ke depan dapat berlangsung lebih tertib, adil, dan mencerminkan aspirasi rakyat secara lebih otentik.











